Jumat

Pentingnya Sebuah Gelar

By : Rudi Cp

Wajib belajar 9 tahun sudah lama dicanangkan oleh  pemerintah. Program itu terus berjalan sampai saat ini. Semua anak, layak mendapatkan pendidikan di bangku sekolah. Mereka diwajibkan belajar, dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat keatas. Mungkin, yang ada di benak dan pikiran para pelajar ini hanyalah; belajar, naik kelas, kemudian lulus atau tamat. Mereka tak memikirkan hal lain selain itu. Setelah beranjak dewasa, bisa saja sedikit merubah paradigma mereka. Mereka mulai bertarung untuk mendapatkan predikat alis gelar, setinggi mungkin.

Gelar inilah yang nantinya diduga akan menentukan nasib manusia. Jika gelar atau titlenya rendah, belum tentu akan mendapatkan    pekerjaan yang layak. Namun jika gelar yang didapatkan tinggi, sudah barang tentu akan mendapatkan pekerjaan yang layak, tentu dibarengi dengan usaha yang sepadan dan takdir yang telah digariskan. Tak jarang juga, orang seperti ini malah dicari bahkan diburu oleh lapangan pekerjaan itu sendiri.
    Namun dibalik itu, ada juga beberapa orang yang berbeda pandangan. Gelar bukanlah satu-satunya yang menentukan nasib manusia. Karena mereka memandang, banyak orang-orang yang tak menuntaskan, bahkan tak pernah merasakan pendidikan    formal, namun bisa menjadi orang besar yang sukses dan berhasil. Kita kenal dengan Thomas Alva Edison yang sempat diusir dari sekolah karena dicap bodoh, Kelen Heller tak pernah sekolah karena memiliki kekurangan. Ia tak bisa mendengar dan melihat. Pun seorang Bill Gates yang tak menuntaskan kuliah, tapi akhirnya sempat menjadi orang terkaya di jagat raya.
    Dengan begitu, apakah yang sebenarnya menjamin       kesuksesan seseorang. Kita bisa mengambil perumpaman bagai seorang yang belajar berenang. Seorang yang belajar berenang, tidak akan bisa berenang hanya dengan membaca buku petunjuk cara berenang. Ia harus terjun langsung ke kolam renang dan   mencoba untuk berenang. Nah, itulah teorinya. Seseorang yang ingin mencapai suatu tujuan, ia tidak akan bisa mencapainya hanya dengan mempelajari teori, namun harus mempraktekkan alias 'berusaha'. Usaha inilah nantinya yang akan menentukan langkah 'pejuang kehidupan'. Jika usahanya hanya seujung jari, maka hasil yang  didapatkan takkan lebih dari usahanya. Tapi jika ia mengerahkan segala upaya untuk meraih tujuannya, maka hasilnya, hanya Yang di atas yang bisa menentukan. Tentunya usaha seorang mukmin tidak akan disia-siakan Allah. Jadi gelar bisa     dikatakan hanya sebagai pembantu dalam mencapai suatu tujuan.
    Nah, jika mereka bisa sukses tanpa mengecap pendidikan, apalagi kita yang belajar secara formal dan mendapatkan gelar. Sudah selayaknya lah kita bisa melampaui mereka yang sudah  duluan sukses. Ada juga yang mengatakan bahwa gelar hanyalah  permainan dunia. Hanya untuk mencari dunia. Maka timbullah orang yang mengenyampingkan pendidikan di sekolah dan kuliah. Mereka lebih rela mendalami suatu ilmu dengan autodidak     ketimbang belajar di sekolah. Hanya karena ingin menjaga niat suci untuk menuntut ilmu dan terhindar dari fitnah dunia. Lebih parah lagi, ada diantara mereka yang menggunakan alasan ini untuk bolos kuliah. Zaman dahulu, para syaikh dan imam shalafus shaleh tak perlu memiliki gelar. Mereka masyhur dari ilmu yang telah dibukukan. Hingga sekarang kita bisa merasakan betapa      dahsyatnya karya yang telah mereka telurkan. Ilmu mereka telah diakui oleh semua orang tanpa harus tamat kuliah.
Tapi tahukah kita, dinamika zaman terus berubah, tak selamanya kondisi hidup ini sama. Populasi yang terus berkembang, menuntut setiap individu mesti unggul dari yang lain. Kita bisa melihat betapa banyaknya orang yang menamatkan pendidikan di jenjang S1 saat ini. Hingga ladang pekerjaan semakin sempit. Hal itu membuat sarjana lulusan S1 rawan dibutuhkan. Apalagi jika kita tak mempunyai status pendidikan apalagi gelar. Dengan begitu kita tak bisa meremehkan gelar ini. Bahkan tak hanya sekedar gelar, namun kita mesti memiliki gelar yang tinggi. Sebagaimana Dr. Fitriyeni pernah berpesan, “Kita harus melanjutkan kuliah hingga S2 , karena S1 sudah seperti tamatan SMA.” Begitu lebih kurang beliau pernah menyampaikan.
 Sebagai contoh, jika kita kembali ke kampung halaman, tentu kita akan bergaul dan berbaur dengan masyarakat. Ternyata masyarakat saat ini lebih mendengar perkataan orang yang memilliki gelar. Masyarakat meyakini bahwa mereka yang mempunyai gelar, adalah orang yang pintar dan berpendidikan. Perkataan mereka akan didengar walaupun terkadang salah. Sementara, mereka yang bisa jadi omongannya benar, namun tak bergelar bisa saja tak didengar. Nah bagaimanakah jika kita ingin menyampaikan dakwah. Kita memiliki ilmu yang melimpah, tapi tak seorang pun yang mendengarkan kita karena tak memiliki kepercayaan dimata masyarakat. Itulah salah satu kekuatan gelar. Dengan begitu, orang yang hanya belajar tanpa mementingkan gelar akan kalah dan terbuang. Seolah-olah gelar menjadi syarat untuk menyampaikan dakwah. Itulah persaingan hidup, mau tak mau kita harus menuruti kehendaknya.
Kita tak menjadikan gelar, sebagai tujuan untuk     menuntut ilmu, namun zaman menuntut bahwa mereka yang mempunyai gelar yang akan menang, an menguasai keadaan. Jika kita menuntut ilmu, ikhlas karena Allah, maka hal semacam gelar akan  mengikuti kita.;

::: Dimuat di buletin Inspirasi

Tidak ada komentar: