Kamis

Nilai Sebuah Prinsip, mengutip pesan moral dari "Emak Ingin Naik Haji"

By : Harun AR

     Film layar lebar Emak Ingin Naik Haji muncul di tengah maraknya dunia perfilman yang senantiasa menyuguhkan berbagai hiburan kepada konsumen di berbagai belahan dunia. Ia hadir dengan sajian yang berbeda dari yang lainnya, memuat nilai-nilai religius yang sarat dengan pengajaran. Film ini satu di antara film-film layar lebar yang sukses menarik perhatian jutaan penonton di berbagai penjuru tanah air, bahkan hingga masyarakat luar negeri, setelah beberapa film sebelumnya juga sukses mendapatkan peringkat teratas seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Dua karya fenomenal Kang Abik. Dan tak kalah dari yang sebelumnya, film ini berhasil menggugah hati dan akan meneteskan air mata bagi siapa yang menyaksikannya. Alur ceritanya yang sederhana dan tak jauh dari realita, berhasil membawa pemirsa seakan ada dalam cerita itu. Demikian juga cara penyampaian pesan-pesan moralnya yang    ringan, juga tak terkesan menggurui.
     Ada beberapa ibrah besar yang disampaikan lewat film ini. Diceritakan tentang seorang "Emak" yang sudah tua renta tapi masih menyimpan cita-cita besar untuk bisa menunaikan ibadah haji. Sosok ini mengajarkan kepada kita tentang arti sebuah azzam dan cita-cita. Sebagai seorang insan yang tercipta dengan segala kelebihan sudah semestinya memiliki hal ini. Mesti ada tekad dan semangat yang kuat dan tak pudar dimakan usia, kecuali dibatasi oleh ajal. Dan cita-cita tertinggi seorang hamba adalah mencapai ridho dan kebahagiaan abadi di sisi Tuhannya.
    Azzam yang kuat, cita-cita yang besar, harus dipelihara dengan keyakinan yang teguh serta ilmu yang benar. Karena di sinilah letak perbedaan antara cita-cita dan angan-angan. Cita-cita besar akan membawa seseorang pada suatu usaha yang gigih dan terus menerus sampai ia mendapatkan apa yang dia inginkan. Sementara angan-angan hanya akan menyibukkan    pemiliknya pada harapan-harapan kosong, melanglang buana di alam imajinasi tanpa realisasi dan usaha. Ia akan mengikat manusia dengan belenggu kemalasan dan rasa pesimis. Lewat film ini tokoh emak ingin mengajarkan kepada kita tentang arti sebuah cita-cita besar, dan bagaimana kita memahami sebuah cita-cita, yaitu dengan usaha, kesungguhan dan kesabaran.
     Di sisi lain kita juga diajarkan agar senantiasa memiliki niat yang lurus untuk melakukan kebaikan terutama dalam rangka ketaatan kepada Allah. Apalagi ketika kita sudah memiliki kemampuan untuk menunaikannya. Salah satu   contoh adalah ibadah haji. Sungguh mengharukan, dan siapa yang pernah membayangkan sebelumnya emak yang tadinya mengira baru bisa naik haji 25 tahun lagi. Tetapi Allah malah berkehendak mengabulkan jauh lebih cepat dari itu. Semuanya tergantung pada niat, karena betapa banyak orang yang sebetulnya memiliki kemampuan untuk melakukan ketaatan tapi karena tak memiliki niat, ia menjadi terhalang dari kebaikan itu. Bahkan ajal justru memanggilnya terlebih dahulu.
     Namun di samping itu niat yang baik mesti diiringi dengan usaha yang baik agar hasil yang diperoleh juga baik. Tapi niat yang baik sementara usahanya tak baik, tak akan menuai hasil yang baik, demikian juga niat yang salah meski usahanya baik dan halal, pun tak akan berarti. Jadi perlu ada keselarasan. Pemahaman seperti ini disampaikan lewat tokoh Zen, yang nyaris merampok sekoper uang dari kamar tetangganya, haji Saun. Tapi ketika teringat ketulusan usaha ibunya akhirnya dia tak jadi melakukan perbuatan tercela itu.
    Film ini juga mengajarkan kita untuk berfikir dan bertindak   realistis. Adakalanya manusia mesti bisa mengukur kemampuan diri dan menyesuaikan kadar usaha dengan apa yang ia cita-citakan. Ini bukan berarti pesimis, tapi tak lebih dari sebuah perhitungan agar kadar usaha yang dilakukan sesuai dengan target hasil yang diinginkan. Seperti yang digambarkan lewat peran tokoh "Emak";
"Sekarang uang Emak ada 5 juta, sudah nabung lima tahun. Kalau sekarang naik haji, ongkosnya 30 juta, berarti baru 25 tahun lagi uang Emak cukup. Jadi emak baru bisa naik haji umur 86 tahun. Mudah-mudahan Emak masih ada umur, ya Zen…" Tak perlu tergesa-gesa dalam mencapai apa yang diinginkan. Karena sebuah cita-cita butuh proses yang bertahap dan tak bisa dicapai dengan instan. Mesti ada perjuangan, rintangan, dan kesabaran dalam menghadapi rintangan itu. Yang terpenting adalah sebuah keyakinan, yang dilandaskan pada ilmu dan usaha. Adapun hasil adalah diluar batas usaha manusia. Bukankah Allah itu senantiasa bersama prasangka hamba-Nya pada-Nya?
     Hal yang tak kalah menarik dalam film ini adalah kritik sosial yang ditujukan pada para konglomerat, agar peduli   dengan orang-orang lemah yang ada di sekeliling mereka. Barangkali ini adalah realita yang sangat banyak ditemui di masyarakat kita. Ada orang kaya yang memiliki gedung bertingkat dan hidup serba     mewah, sementara di samping rumahnya terdapat sebuah gubuk reot yang dihuni oleh keluarga yang hidup serba kekurangan. Dan kritik ini pun ditujukan pada orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji dan umrah berkali-kali. Apakah tak sebaiknya dana yang dipergunakan untuk haji itu diinfaqkan untuk kemaslahatan umat atau membantu orang-orang lemah, karena kewajiban ibadah haji hanyalah sekali, sementara selebihnya sunnah. Sementara ada hal yang lebih prioritas dan lebih besar keutamaannya.
"Tidaklah beriman seseorang, bila ia dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan." (Al Adabul Mufrad no. 112, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
      Itulah beberapa ibrah yang bisa kita ambil dari film ini. Kita diajarkan tentang ketulusan niat dan sebuah cita-cita mulia, dan kita juga diajarkan untuk bersikap realistis, karena realistis adalah salah satu kunci ketenangan jiwa dan keikhlasan dalam   mengatasi ujian yang ada. Dan si sisi lain kita juga tak bisa        melupakan arti kepedulian social. Sebagaimana seorang Emak, walau dia harus mengeluarkan uang receh yang dikumpulkan bertahun-tahun, ketika merasa ada yang lebih butuh. Ketika kita merasa   membutuhkan, barangkali ada orang lain yang lebih membutuhkan daripada kita. Maka di sinilah arti penting kepekaan sosial dalam diri kita.
     Seorang yang tulus tak akan mementingkan dirinya sendiri, tapi ia pun ikut merasakan apa yang dirasakan orang sekitarnya. Karena tak ada yang tahu, dibalik ketulusan itu ada sebuah hadiah besar yang telah dipersiapkan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab. ;

::: Dimuat di buletin Inspirasi

Tidak ada komentar: