Minggu

:::Mozaik::: Rasa yang Tak Terlupakan



Hawa sore itu terasa dingin tak seperti biasanya, padahal ini baru awal datangnya musim dingin. Angin menari-menari mengayunkan cadar yang dikenakan seorang akhwat yang sedang menunggu bus tepat di depanku. Bukan maksudku berdiri tepat dibelakangnya, hanya saja ini adalah posisi yang paling strategis guna menghindari tiupan angin yang membabibuta. Setiap mataku mengikuti bus yang terus lewat, tak sengaja pandangan mataku singgah ke akhwat tersebut. Kelihatan lucu memang, memakai cadar, namun jilbabnya tak begitu sempurna menutupi. Terlihat dari warna yang selaras antara jilbab dan cadarnya, bahwa ia memotong seedikit jilbabnya untuk dijadikan cadar, agar sesuai dengan warna jilbab. Akhwat itu akhirnya mendapatkan mobil tumpangan yang akan ia naiki. Terdengar dari kondektur yang menyorakkan tujuan, Sabi'. Padahal, kalau kuperhatikan dari tadi, ada beberapa mobil yang menuju Sabi'. Tapi ia baru menaiki mobil ini. Hmm…, ternyata dia memilih mobil yang kosong, yang tak banyak penumpang prianya.
Bus yang dari setengah jam lalu kutunggu-tunggu tak kunjung datang. Terdengar alunan piano Akareboshi berasal dari saku celanaku. Ternyata itu hanya pesan kalimni1 dari Taufik. Memang awalnya kami telah janjian untuk pergi bersama ke Husein; kawasan dekat kuliah, untuk menghadiri acara reunian Gen 18th. Gen 18th, generasi yang kompak dan solid. Kami pernah mengikrarkan janji bahwa akan selalu bersama hingga kapanpun. Maka dari itu, sesekali kami mengadakan acara kumpul-kumpul agar lebih hangat sambil membicakan beberapa persoalan. Lagi, Nokia 6120ku berbunyi, kali ini aku benar-benar menanggapai dan harus mengorbankan pulsa.
"Haik, mossi-mossi, Opick san ima dokko ni?" dengan lagakku, bicara dengan bahasa negeri matahari terbit, yang baru saja aku pelajari.
"Oi…, matte o." Taufik menjawab dengan kalimat yang selalu ia sebutkan yang sama sekali tak nyambung.
"Pik, lagi dimana?" aku menegaskan dengan bahasa ibu.
"Ana lagi di Zahra', dari tadi nungguin bus, tapi ga datang.
"Jadi, gimana?" aku bertanya balik.
"Ya alternatifnya kita naik mini bus 132 aja, nanti turunnya di Nury Al Khitab."
"Oke deh kalo gitu." Aku menjawab dengan sedikit lega.
            Setelah hampir setengah jam, barulah Taufik datang dengan mini bus itu. Taufik memberi isyarat bahwa ia ada di dalam bus. Aku pun segera mengambil langkah.
***
            Magrib tiba, bertepatan saat kami turun di Nury Al Khitab. Tempat yang stategis untuk menunggu bus tujuan Husein/ Darasah. Tampaknya penantian panjang terulang kembali, lebih dari 15 menit, bus yang kami tunggu tak kunjung datang. Sementara magrib hampir tiba di penghujung waktu. Akhirnya kami memutuskan untuk sholat Magrib dahulu. Setelah sholat usai, penantian pun berlanjut. Kami tak mendapati satu pun bus menuju Darasah. Yang ada cuma bus 926, yang hanya mengantarkan sampai Bu'uts. Tak ada pilihan lain, kami pun meneruskan perjalanan dengan bus 926 yang super sesak dengan padatnya penumpang. Padahal, setiap angkutan umum di mesir, para supir sudah mendapatkan gaji yang mencukupi, tapi entah apalah yang diharapkan supir bus ini, hingga memasukkan penumpang sebanyak mungkin hingga laju bus pun semakin berat.
            Bersatu padu dengan aroma khas mesir membuatku mual tak tertahankan, ditambah lagi ocehan kondektur yang memaksa penumpang bergeser kedepan dengan hujah yang sama setiap saat, 'arabiyah fadi'.2 Terjadilah perdebatan yang tak semestinya wajar disebut sebagai percakapan biasa dengan penumpang. Kondektur yang bersorak-sorak bagaikan panglima perang mengumbarkan semburan air liur menghujani penumpang di depannya. Aku hanya mematung, diapit dua raksasa di sampingku. Sedangkan Taufik duduk di besi tempat biasa penumpang berpegangan di kursi paling belakang.
            Kesesakan itu berakhir di Buuts dengan jumlah penumpang yang sama sekali tak berkurang. Malam yang menjelang memaksa cacing-cacing dalam perutku menari-nari meminta suplemen. Jika membeli makanan berat, yang ada hanya 'Isy. Niat hendak membeli pun terabaikan karena mobil 80 coret datang. Tanpa berhenti kami langsung lompat ke bus tersebut. Dari sekian angkutan yang kami tumpangi mungkin baru kali ini mendapatkan bangku kosong. Namun sayangnya dalam rute yang terlalu singkat, sedangkan kami hampir sampai. Kusempatkan untuk melirik ke jam tanganku. Jarum jam hampir mendekati arah angka 7, karena aku berangkat tepat jam 4. Jika dikalkulasikan mungkin perjalananku malam ini dengan Taufik memakan waktu hampir 3 jam. Padahal dalam perjalanan biasa ke Darasah hanya memakan waktu lebih kurang 45 menit. Sungguh sangat menghabiskan waktu
            Malam di Husein benar-benar membuat perut ini menyanyikan irama musik tak bernota. Taufik dengan tangan ringannya langsung mengeluarkan gineh³ untuk membeli Kibdah4 tepat di dekat mahathah5 terakhir kami turun. Rasa lapar ini begitu membabi buta. Setelah Bismilllah, sekarang giliran rongga mulut ini yang beraksi. Gigitan pertama mungkin tak berasa apa-apa, karena 'Isy, memang rasanya hambar. Namun setelah lidah ini bertemu dengan Kibdah yang dilapisi 'Isy, sejuta kenikmatan terpancar di sana. Serasa ini adalah makanan yang paling lezat yang pernah aku rasakan di mesir. Bahkan mengalahkan makanan kegemaranku sekalipun; Pizza ala Mesir. Setiap gigitannya mengeluarkan rasa renyah bercampur pedas, rasa asin yang dikeluarkannya membuat lidah ini terasa kelu. Paduan bumbunya terasa sempurna. Aku jadi teringat salah satu masakan nusantara; gulai kambing. Ya ini terasa bagaikan gulai kambing. Ini kali pertama aku mencicipi makanan mesir yang lezat lagi ekonomis. Tampaknya ini akan menjadi tempat makanan terfavoritku saat ini.

***
            Kepenatanku yang begitu panjang kulampiaskan diatas kasur berselimutkan kehangatan Santamora, setelah sampai di Piramyd; rumah Eddo, Fandi, Doni, Rafki dan Inas. Perjalanan 3 jamku terasa sia-sia, setelah mengetahui bahwa reunian kami telah berakhir dan sebagian teman-teman dari tetangga sebelah pun telah pulang. Tapi satu yang tak kulupakan dari perjalanan itu, Kibdah. Mungkin setiap aku pulang dari kuliah akan kusempatkan diri ini untuk sekedar mencicipi Kibdah itu.
Namun ternyata setelah beberapa kali aku membeli Kibdah di tempat yang sama, aku tak menemukan rasa yang nikmat seperti yang pernah kucoba malam itu. Padahal masih ditempat yang sama dan penjual yang sama. Hanya saja yang membedakan ketika itu aku merasakannya dalam keadaan setelah aku bersusah payah melakukan perjalanan panjang plus melelahkan. Barangkali itu adalah nikmat yang diselipkan Allah ke dalam lidahku agar kepenatanku hilang terlupakan. Walaupun rasa tak tertinggal kekal di lidah, namun aku tak kan melupakan, bahwa saat itu aku pernah merasakan Kibdah yang lezat.

Kalimni: please call me
Arabiyah fadi: mobil masih kosong
Kibdah: makanan khas mesir, roti 'Isy berisikan hati
Mahathah: terminal


Seseorang yang masih belajar menulis; Rudi Candra Putra.




Jumat

Kumpul Generasi 18 di Al Azhar Park, dan Pemilihan Kapten Baru

Kairo::: Laba-laba (Dec'09)

ditulis oleh: Afdhal Sy


Sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan, satu persatu personil generasi 18 yang di mesir memasuki gerbang Al-Azhar Park atau yang lebih dikenal dengan Hadiqah Al-Azhar, acara yang digagas pada awalnya oleh beberapa ikhwah ini, dilaksanakan pada hari Sabtu, 5 Desember 2009.

Dari 18 orang generasi 18 yang berada di Mesir, hanya dua yang terpaksa absen dalam kegiatan ini, masing-masing karena alasan kesehatan dan sedang mengikuti ujian Al-Quran.

Acara ini diawali dengan keliling taman sambil berfoto bersama hingga waktu magrib tiba, dan setelah melaksanakan shalat magrib berjamaah, dilanjutkan dengan tukar pikiran dengan duduk melingkar di sebuah lapangan yang ada di taman ini, dan dalam sesi yang dipandu oleh M Rafqi Amin ini seluruh anggota diberi kesempatan berbicara untuk menyampaikan uneg-uneg dan usulan-usulan untuk memajukan dan menambah kekompakkan generasi 18 di Mesir, dan disini juga seluruh generasi 18 juga menyatakan impian dan cita-cita mereka untuk motivasi bagi yang lain, dan agar sesama mereka saling mengingatkan supaya tidak keluar dari tujuan mereka datang ke Negeri para Nabi ini.

Diakhir acara ini, generasi 18 juga berhasil mengangkat seorang kapten baru yang akan menakhodai generasi 18 selama di Mesir, dengan terpilihnya Fakhru Ridho sebagai kapten baru, seluruh generasi 18 bersedia akan mematuhi seluruh kebijakan kapten baru yang berkaitan dengan ke-delapanbelas-an. Dan juga telah merumuskan beberapa perencanaan seperti rihlah, pembuatan baju kompak dan video yang akan ditindaklanjuti setelah ujian ujian term awal selesai.

Dan sebelum berpisah untuk menuju rumah masing-masing, generasi 18 menyepatkan diri untuk berpose bersama di depan gerbang taman yang dihiasi dengan lampu-lampu yang indah.